Selasa, 25 November 2014

meteorologi : Gunung Berapi: Sebuah fenomena yang umum di tata surya

Gunung berapi, mungkin ketika kita mendengar kata itu yang terbayang di kepala kita adalah sebuah struktur berbentuk kerucut yang memuntahkan lava, dan asap, layaknya sebuah jerawat di muka bumi. Dan tentu saja, hal yang paling sering, atau malah satu-satunya, yang kita kaitkan pada tempat gunung berapi adalah di atas bumi, tetapi tahukah anda bahwa terdapat gunung berapi di tata surya ini? Dan tentu saja, anda akan mengaitkan limpahan yang keluar dari gunung berapi sebagai lava, magma yang panas keluar dari perut bumi, dengan suhu mencapai 2000 derajat Celcius, atau malah lebih?
Letusan Gunung Rinjani pada tahun 1994
Kalau mendengar tentang letusan gunung berapi, jelas sekali kan apa yang terbayang seperti gambar di atas? Sebuah gundukkan yang mengerikan dan menyemburkan api sebagai pekerjaannya, dimana pada siklus aktifnya memakan korban nyawa manusia, namun setelah itu menyuburkan tanah, dan merevitalisasi atmosfer bumi, dlsb. Belum lagi pemandangan spektakuler yang dihasilkan dari letusan-letusan ini lava yang memancar dari dalam perut bumi, partikel-partikel debu yang bermuatan listrik dan memicu badai petir, pemandangan ini seakan-akan menyatakan bahwa manusia sedang dihukum, meskipun sebenarnya hal ini hanyalah bumi yang sedang melakukan pemanasan, atau sedang mengganti posisi tidurnya.
Mungkin yang menjadi sebuah pertanyaan besar di benak banyak orang adalah, “Bagaimana sebenarnya gunung berapi bisa meletus?”
Untuk dapat mengerti mekanisme meletusnya gunung berapi, kita pertama-tama harus tahu terlebih dahulu bagaimana gunung berapi bisa terbentuk. Sebenarnya ada beberapa cara gunung berapi bisa terlahir, namun semuanya melibatkan adanya robekkan pada kerak bumi, misalnya jika terjadi tumbukkan tektonik, yang merupakan faktor utama terjadinya gunung berapi di dunia, dan hal ini pulalah yang menyebabkan Indonesia memiliki banyak sekali gunung berapi, karena Indonesia diapit oleh 5 lempeng tektonik, yaitu, lempeng asia, lempeng india, lempeng australia, lempeng samudra pasifik, dan lempeng samudra hindia.
Selain itu, dapat juga gunung berapi terjadi karena adanya hot spot, atau adanya lubang di tengah lempeng, seperti yang terjadi pada kepulauan Hawaii, dan ciri khas dari hot spot ini adalah lavanya yang cenderung memiliki konsistensi yang lunak dan cair. Sedangkan yang terakhir adalah karena terjadinya robekkan pada zona divergent, dimana plat tektonik saling menjauh satu sama lain, contohnya adalah pergunungan bawah laut (mid-oceanic ridge) di dasar samudra Atlantik
seperti inilah asal-usul dari banyak gunung berapi di bumi
Tapi tentu saja hal ini masih menyisakan banyak pertanyaan, jika material panas yang dimuntahkan memang berasal dari perut bumi, dan bisa lewat karena robekan pada kerak bumi, lantas, bagaimana material tersebut dapat menjadi panas?
Seperti inilah bumi jika dipotong dari samping, dan lapisan-lapisannya
Sebenarnya hal tersebut terjadi karena suhu didalam bumi itu sendiri sangat panas, memuncak sampai 5700 Kelvin pada intinya, dan pada bagian yang dekat permukaan pun sudah mencapai seribu derajat Celcius. Lantas, darimanakah, perut bumi mendapatkan suhu sepanas itu? Penjelasan yang paling mudah memang merupakan beban dari material bumi itu sendiri yang menyebabkan tekanan yang begitu besar, karena gravitasi, pada inti sehingga terjadi peningkatan suhu, dan karena kerak bumi memiliki konsistensi yang berbeda dari materi inti, maka kerak menjadi bagaikan sebuah termos yang menahan agar suhu perut bumi tidak jatuh. Namun justru karena ada perbedaan suhu yang signifikan antara dibawah kerak dan diatasnya (mencapai ribuan Kelvin) yang terjadi adalah isi perut bumi, meskipun hanya minoritasnya saja yang dapat keluar. Namun, meskipun hanya sebagian dari materi dari perut bumi yang setiap hari mengalir keluar, tetapi tetap saja hal ini akan menurunkan suhu dan tekanan materi yang dapat dimuntahkan, dan berdasarkan perhitungan, memang tekanan saja tidak akan cukup untuk menghasilkan panas perut bumi yang ada, dan beberapa hipotesis sudah diajukan untuk menjelaskan masalah ini, seperti adanya materi radioaktif sisa supernova yang membentuk cincin protoplanet dan protobintang yang akhirnya membentuk tata surya (menimbang juga bahwa terdapat banyak materi radioaktif, bahkan di kerak bumi saja), sisa panas dari kejadian-kejadian katastrofik yang membentuk bumi (semua dentuman itu pasti akan menyisakan panas yang luar biasa bukan?) atau mungkin dengan proses fisis yang belum kita kenal, atau pengetahuan kita mengenai tekanan dan suhu bisa saja belum lengkap, tapi itu lah sains, selalu berkembang dari kekurangannya.
sebuah cincin protoplanet, dari sinilah planet-planet seperti bumi dan mars lahir, dan sisa energi tumbukannya masih tersimpan di perut bumi sampai sekarang
Tetapi tahukah anda bahwa fenomena gunung berapi juga ada di planet-planet dan bulan-bulan lain selain bumi? atau bahkan terdapat bukti bahwa di bulan terdapat sisa-sisa gunung berapi? Kita ambil contoh dari Io, bulan Jupiter, yang justru merupakan sebuah objek dengan aktivitas vulkanik yang paling tinggi se tata-surya, namun berbeda dengan bumi, aktivitas vulkanik di Io tidak bisa dijelaskan dengan tekanan, sisa energi tumbukkan, maupun peluruhan radioaktif, namun sumber energi vulkanik disana sangatlah unik, karena Io memiliki inti yang tercabik-cabik secara harafiah, oleh karena planet induknya, Jupiter, memiliki massa yang begitu besar, sehingga apapun yang ada didekatnya akan tertarik ke arahnya, termasuk, jika anda tahu, comet Schumacher-Levy 9 yang terkenal itu, yang menabrak planet itu dengan indahnya, dan terekam oleh teleskop Hubble.
Kembali ke topik, Io menjadi korban dari gaya pasang (seperti pada pasang surut laut karena bulan), hanya saja kekuatannya jauh lebih besar dibandingkan gaya pasang yang terjadi di bumi karena bulan, Io secara harafiah menjadi lonjong dan intinya terus menerus berada dalam proses dirobek menjadi dua karena tarik-menarik gravitasi antara planet induknya, jupiter, dan bulan-bulan raksasa yang ada di belakang, yaitu Europa, dan Ganymede, yang memiliki periode orbit yang tersinkronasi dengannya.
Hal ini dalam bahasa inggris disebut sebagai “tidal heating” dan untuk menjelaskan sedikit lebih jauh tentang pemanasan ini, kita harus mempertimbangkan seluruh gaya yang berkecimpung di dalam inti Io, pertama ada gaya gravitasi dari planet Jupiter yang memang sangat besar, lalu ada gaya gravitasi kedua bulan yang disebut diatas, dan gaya gravitasi dari Io itu sendiri, hal ini menyebabkan adanya “tug of war” atau tarik tambang antara gaya-gaya yang disebut diatas, yang menyebabkan terjadinya gesekan-gesekan yang luar biasa. Hal ini terutama terjadi karena pencembungan dari bentuk Io itu sendiri, dan ketika sedang tidak berada sederet dengan dua bulan raksasa dibelakangnya, Io akan membulat kembali.
Karena Io memiliki kompisisi yang mirip dengan bumi, yaitu didasari oleh silikat-besi, maka lava yang keluar juga mirip, dengan warna merah yang khas, selain itu, karena kandungan sulphur yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata di bumi, maka Io memiliki bekas-bekas letusan yang ditandai dengan kawah-kawah berwarna kuning, dan juga karena aktivitasnya yang dashyat itu, menyebabkan Io seakan-akan memiliki jerawat di mukanya.
Seperti inilah muka dari Io, yang penuh dengan jerawat karena aktivitas vulkaniknya
Perubahan landskap dari Io, dimana bercak merah yang terlihat disini adalah lava
Tetapi, tentu saja aktivitas vulkanik di tata surya tidak hanya sebatas itu, dan lebih hebatnya lagi, tidak terbatas dengan lava berpijar dan sulfur, tapi juga bisa dengan es nitrogen! Sebagai contoh yang kita ketahui, kita ambil Enceladus, bulan yang mengorbit Saturnus
Semburan materi dari dalam Enceladus, yang diisi bukannya oleh silikat-besi namun oleh es dan gas-gas yang beku, sehingga gunung "berapi" ini sudah bukannya mengeluarkan lava berpijar, malahan es dan gas
Enceladus mengalami nasib yang kurang lebih sama dengan Io, hanya saja, Enceladus memiliki material yang berbeda. Seperti yang disebut diatas, Enceladus memiliki komposisi yang terdiri dari air, ammonia, metana, dan gas-gas beku lainnya. Hal ini menyebabkan Enceladus dengan mudah meleleh di dalam intinya ketika terjadi friksi akibat gaya pasang dari gravitasi Saturnus yang besar, dan tentu saja, seperti disebutkan yang terjadi di bumi diatas, perbedaan tekanan dan suhu akan menyebabkan semburan materi dari bagian dalam yang lebih panas tersebut, dan terjadilah semburan jet partikel seperti yang digambarkan pada foto diatas (yang diambil oleh pesawat Cassini). Hasil dari semburan-semburan ini diyakini membentuk material yang dibutuhkan untuk membentuk cincin E milik Saturnus, dimana cincin ini tepat berada di sekitar orbit Enceladus dan beberapa bulan es lainnya. Aktivitas seperti ini dapat juga ditemukan di bulan Neptunus, yaitu Triton.
Seperti inilah tampak dari perjalanan Enceladus dalam orbitnya dan cincin E dari Saturnus
Selain itu, tentu saja gunung berapi terdapat banyak di planet-planet terrestrial, dan penulis sudah membahas bumi sebagai salah satu contohnya, namun, membahas gunung berapi tanpa membahas Olympus Mons di Mars, tentu saja belum lengkap. Olympus Mons adalah gunung terbesar di tata surya, dengan tinggi dari kaki menuju puncak lebih dari 3 kali tinggi gunung everest, yaitu mencapai 22km diatas permukaan Mars. Hal ini juga berarti bahwa, jika anda mendaki gunung Olympus Mons, anda akan berada pada kepadatan atmosfer tertinggi dari Mars yang berisi karbondioksida di kakinya, dan hampir mencapai puncak atmosfernya di puncak gunung, dan kita belum membahas tentang lebar dari gunung ini, yang mencapai 60 km, yang memberinya posisi gunung terbesar tersebut. Namun, jika anda akan berjalan-jalan ke Mars, anda tidak perlu kuatir karena gunung berapi ini sudah tidak aktif lagi, bahkan pengamatan menunjukkan bahwa aktivitas vulkanik di Mars sudah berhenti jutaan bahkan milyaran tahun yang lalu, hal ini jugalah yang memberi tanda bahwa kemungkinan inti dari planet Mars sudah tidak panas lagi seperti dahulu, dan memberikan bukti bahwa vulkanisme di Mars berasal dari sisa panas tumbukkan yang membentuknya dari tahap protoplanet, dan juga karena ukurannya dan massanya yang kecil, sehingga tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menahan panas dan tekanan pada perutnya, dan karena itu jugalah, gunung-gunung berapi di Mars mencapai ukuran raksasa. Selain itu, aktivitas vulkanisme juga telah teramati di Venus dan Bulan kita sendiri.
Beginilah tampak gunung Olympus Mons dari satelit

meteorologi : Van Allen Probe NASA Mengungkap Keberadaan Sabuk Radiasi Baru di Seputar Bumi

Misi Van Allen Probe dari NASA telah menemukan sabuk radiasi ketiga di seputar bumi yang sebelumnya tak pernah diketahui keberadaanya, mengungkap akan adanya struktur dan proses yang tak terduga dalam wilayah berbahaya ruang angkasa tersebut.
Observasi sabuk Van Allen sebelumnya telah cukup lama mendokumentasikan dua wilayah berbeda dari radiasi yang terperangkap di sekitar planet kita. Instrumen pendeteksi partikel yang ditempatkan pada pasangan kembar Van Allen Probe dengan segera menyadarkan para ilmuwan akan keberadaan sabuk radiasi ketiga.
Sabuk yang ditemukan pada tahun 1958 dan dinamai berdasarkan nama penemunya, James Van Allen, merupakan wilayah kritis bagi masyarakat modern yang bergantung pada berbagai teknologi berbasis ruang angkasa. Sabuk Van Allen dipengaruhi oleh badai matahari dan cuaca ruang angkasa, efeknya dapat melebar secara dramatis. Andai itu terjadi, tentunya akan menimbulkan bahaya bagi satelit komunikasi dan GPS, terutama bagi manusia yang berada di ruang angkasa.
Dua petak raksasa radiasi, dikenal sebagai Sabuk Van Allen, yang berada di seputar bumi ditemukan pada tahun 1958. Di tahun 2012, observasi dari Probe Van Allen menunjukkan bahwa sabuk ketiga terkadang bisa muncul. Radiasi ditampilkan di sini dalam warna kuning, dengan hijau mewakili ruang di antara sabuk. (Kredit: NASA/Van Allen Probe/Goddard Space Flight Center)
“Kemampuan dan kemajuan baru teknologi yang fantantis pada Probe Van Allen memungkinkan para ilmuwan memantau rincian yang belum pernah terjadi sebelumnya tentang bagaimana sabuk radiasi dipenuhi partikel bermuatan, sekaligus memberi wawasan tentang apa yang menyebabkan sabuk bisa berubah, serta bagaimana berbagai proses mempengaruhi permukaan bagian atas atmosfer bumi,” jelas John Grunsfeld, administrator asosiasi NASA untuk ilmu pengetahuan di Washington.
Temuan ini menunjukkan sifat sabuk radiasi yang dinamis dan bervariabel, menambah pemahaman kita tentang bagaimana sabuk-sabuk tersebut merespon aktivitas matahari. Temuan yang dipublikasikan pada 28 Februari dalam jurnal Science ini merupakan hasil dari data yang dikumpulkan misi dual-pesawat ruang angkasa pertama yang terbang melewati sabuk radiasi planet kita setelah peluncurannya pada 30 Agustus 2012.
Pengamatan beresolusi tinggi dari instrumen Relativistic Electron Proton Telescope (REPT), bagian dari Energetic Particle, Composition, and Thermal Plasma Suite (ECT) yang terpasang pada kedua Probe Van Allen, mengungkap adanya tiga struktur sabuk yang berbeda dengan hadirnya wilayah, atau ruang, yang kosong di tengah-tengahnya.
“Ini adalah pertama kalinya intrumen beresolusi tinggi kami melihat waktu, ruang dan energi secara bersamaan pada sabuk bagian luar,” ungkap Daniel Baker, penulis utama studi yang memimpin pengoperasian instrumen REPT di Laboratory for Atmospheric and Space Physics (LASP), University of Colorado, Boulder, “Observasi sabuk radiasi bagian luar sebelumnya hanya mengungkap satu elemen tunggal yang buram. Saat kami mengaktifkan REPT selang dua hari setelah peluncuran, peristiwa akselerasi elektron yang kuat sudah berlangsung, dan kami secara jelas menyaksikan sabuk dan slot baru di antara peristiwa akselerasi dan sabuk bagian luar.”
Para ilmuwan mengamati sabuk ketiga selama empat minggu sebelum gelombang kejut yang kuat dari matahari memusnahkannya. Pengamatan dilakukan oleh para ilmuwan dari berbagai institusi, yakni LASP; NASA Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Md; Los Alamos National Laboratory di Los Alamos, NM; dan Institute for the Study of Earth, Oceans, and Space University of New Hampshire di Durham.
Pada 31 Agustus 2012, sebuah tonjolan raksasa di matahari meletus, menghantar partikel dan gelombang kejut hingga mencapai dekat Bumi. Peristiwa ini mungkin menjadi salah satu penyebab munculnya sabuk radiasi ketiga di sekitar bumi setelah beberapa hari kemudian, sebuah fenomena yang teramati untuk pertama kalinya oleh Van Allen Probe yang baru diluncurkan. Gambar tonjolan sebelum meletus ini ditangkap oleh Solar Dynamics Observatory (SDO) NASA. (Kredit: NASA/SDO/AIA/Goddard Space Flight Center)
Masing-masing Van Allen Probe membawa seperangkat lima instrumen yang sama, memungkinkan para ilmuwan mengumpulkan data tentang rincian sabuk yang belum pernah terjadi sebelumnya. Data ini penting untuk dapat mempelajari efek cuaca ruang angkasa di bumi, termasuk proses-proses fisik fundamental yang teramati di sekitar objek lainnya, seperti planet-planet dalam tata surya kita dan nebula yang berjarak jauh.
“Bahkan setelah 55 tahun sejak penemuannya, sabuk radiasi bumi masih mampu mengejutkan kami dan masih menyimpan misteri untuk ditemukan dan diselidiki,” kata Nicky Fox, wakil untuk proyek Van Allen Probe di Applied Physics Laboratory, Laurel Johns Hopkins University, Md, “Kita mengira sudah cukup tahu tentang sabuk radiasi, tapi ternyata tidak. Kemajuan dalam teknologi dan deteksi dari NASA dalam misi ini sudah dengan segera nyaris berdampak pada ilmu pengetahuan dasar.”
Van Allen Probe merupakan misi kedua dalam Living With a Star Program NASA untuk mengeksplorasi aspek-aspek dari sistem terhubung matahari-bumi yang secara langsung berdampak bagi kehidupan dan masyarakat
Kredit: NASA
Jurnal: D. N. Baker, S. G. Kanekal, V. C. Hoxie, M. G. Henderson, X. Li, H. E. Spence, S. R. Elkington, R. H. W. Friedel, J. Goldstein, M. K. Hudson, G. D. Reeves, R. M. Thorne, C. A. Kletzing, and S. G. Claudepierre. A Long-Lived Relativistic Electron Storage Ring Embedded in Earth’s Outer Van Allen BeltScience, 2013; DOI: 10.1126/science.1233518

meteorologi : Peneliti Memprediksi Perubahan Iklim Berlanjut Hingga Tahun 3000

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dampak meningkatnya tingkat CO2 di atmosfer Bumi akan menimbulkan efek tak terbendung terhadap iklim setidaknya 1000 tahun ke depan, menyebabkan peneliti memprediksi runtuhnya lapisan es Antartika Barat pada tahun 3000, dan kenaikan laut global meningkat setidaknya setinggi empat meter.
Penelitian ini, yang akan dipublikasikan online dalam jurnal Nature Geoscience, 9 Januari, merupakan simulasi penuh model iklim pertama untuk membuat prediksi ke 1000 tahun dari sekarang. Hal ini didasarkan pada kasus terbaik,  skenario ‘nol-emisi’ dibangun oleh tim peneliti dari Canadian Centre for Climate Modelling and Analysis (laboratorium penelitian Lingkungan Kanada di Universitas Victoria) dan Universitas Calgary.
“Kami menciptakan skenario ‘bagaimana seandainya’,” kata Dr Shawn Marshall, Ketua Riset Kanada untuk Perubahan Iklim dan profesor geografi Universitas Calgary. “Bagaimana seandainya kita benar-benar berhenti menggunakan bahan bakar fosil dan tidak menaruh lebih banyak CO2 di atmosfer? Berapa lama hal itu kemudian membalikkan tren perubahan iklim saat ini dan akankah hal-hal yang menjadi lebih buruk terjadi terlebih dahulu?” Tim peneliti mengeksplorasi skenario nol-emisi mulai pada tahun 2010 dan pada tahun 2100.
Tarif untuk Belahan Utara lebih baik dibandingkan bagian selatan pada simulasi komputer, dengan pola pembalikan perubahan iklim dalam waktu 1000 tahun di beberapa tempat seperti Kanada. Pada waktu yang sama bagian Afrika Utara mengalami penggurunan sebagaimana tanahnya mengering hingga 30 persen, dan pemanasan lautan hingga 5°C yang meliputi Antartika kemungkinan akan memicu runtuhnya luas lapisan es Antartika Barat, sebuah kawasan seluas padang rumput Kanada.
Para peneliti berhipotesis bahwa salah satu alasan variabilitas antara Utara dan Selatan adalah gerakan lambat air laut dari Atlantik Utara ke Atlantik Selatan. “Laut global dan bagian-bagian belahan bumi selatan memiliki lebih banyak inersia, perubahan yang terjadi menjadi lebih lambat,” kata Marshall. “Inersia di pertengahan dan di kedalaman laut yang mengalir ke Atlantik Selatan mengindikasikan bahwa lautan itu baru sekarang mulai hangat sebagai hasil emisi CO2 dari abad terakhir. Simulasi menunjukkan bahwa pemanasan akan terus berlanjut, bukannya berhenti atau berbalik pada skala waktu 1000-tahun.”
Arus angin di belahan bumi selatan mungkin juga terkena dampak. Marshall mengatakan bahwa angin di bagian selatan global cenderung menguat dan tetap kuat tanpa adanya pembalikan. “Hal ini meningkatkan pencampuran di dalam laut, membawa lebih banyak panas dari atmosfer dan memanaskan lautan.”
Peneliti selanjutnya akan mulai menyelidiki lebih mendalam dampak suhu atmosfer pada suhu lautan untuk membantu menentukan tingkat berapa Antartika Barat dapat menjadi tidak stabil dan berapa lama yang diperlukan untuk sepenuhnya runtuh ke dalam air.


meteorologi : Gelas Pecah Hasilkan Petunjuk pada Perubahan Iklim

Petunjuk untuk iklim di masa depan bisa ditemukan pada gelas minum biasa yang retak. Studi yang muncul minggu ini dalam Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa partikel mikroskopis debu, yang memancar ke dalam atmosfer ketika debu terpecah, mengikuti pola fragmen yang mirip dengan pecahan kaca dan benda-benda rapuh lainnya. Penelitian, oleh ilmuwan Jasper Kok dari Pusat Nasional Penelitian Atmosfer (NCAR), menunjukkan adanya beberapa kali lebih banyak partikel debu di atmosfer daripada yang diperkirakan sebelumnya, karena debu yang hancur ternyata menghasilkan sejumlah besar fragmen debu, jumlah yang sama sekali tak terduga.

Penemuan ini memiliki implikasi untuk memahami perubahan iklim di masa depan karena debu memainkan peran penting dalam mengontrol jumlah energi matahari  di atmosfer. Tergantung pada ukuran dan karakteristik lain, beberapa partikel debu merefleksikan energi matahari dan mendinginkan planet ini, sedangkan yang lainnya memerangkap energi sebagai panas.

“Sebagaimana ukuran mereka yang kecil, konglomerasi partikel debu di tanah berperilaku dengan cara yang sama dengan hantaman gelas yang dijatuhkan di lantai dapur,” kata Kok. “Dengan mengetahui pola ini, bisa membantu kita menyusun sebuah gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana iklim masa depan kita akan terlihat.”

Penelitian ini juga bisa meningkatkan akurasi peramalan cuaca, terutama di kawasan rawan debu. Partikel debu mempengaruhi awan dan curah hujan, serta suhu.

Penelitian ini didukung oleh National Science Foundation, yang mensponsori NCAR.





Debu partikel dalam rentang atmosfer berdiameter dari sekitar 0,1 mikron hingga 50 mikron (mikron juga dikenal sebagai mikrometer). Ukuran partikel debu menentukan bagaimana mereka mempengaruhi iklim dan cuaca, mempengaruhi jumlah energi matahari di atmosfer global serta pembentukan awan dan curah hujan yang lebih banyak di kawasan rawan debu. Gambar satelit NASA dalam ilustrasi ini menunjukkan badai debu tahun 1992 di atas Laut Merah dan Arab Saudi. (Kredit. University Corporation for Atmospheric, Komposit ilustrasi ©UCAR)






Tanah Retak

Penelitian Kok terfokus pada jenis partikel udara yang dikenal sebagai debu mineral. Partikel-partikel ini biasanya dikeluarkan ketika butiran pasir yang tertiup ke dalam tanah, menghancurkan debu dan mengirimkan fragmen ke udara. Ukuran fragmen bisa berdiameter sekitar 50 mikron, atau sekitar ketebalan sehelai rambut manusia.

Partikel terkecil, yang diklasifikasikan sebagai tanah liat dan kecilnya berdiameter 2 mikron, tetap berada di dalam atmosfer selama sekitar seminggu, banyak mengitari dunia dan mengerahkan pengaruh pendinginan dengan merefleksikan panas dari Matahari kembali ke angkasa. Partikel yang lebih besar, yang diklasifikasikan sebagai lanau, jatuh dari atmosfer setelah beberapa hari. Semakin besar partikelnya, semakin cenderung memiliki efek panas pada atmosfer.

Penelitian Kok menunjukkan bahwa rasio partikel lumpur dengan partikel tanah liat ternyata dua hingga delapan kali lebih besar daripada yang direpresentasikan dalam model iklim.

Sejak para ilmuwan iklim secara cermat menyesuaikan model untuk mensimulasikan jumlah partikel tanah liat di atmosfer, makalah ini menyarankan bahwa model-model itu kemungkinan besar meleset saat mengarah pada jumlah partikel lumpur. Sebagian besar pusaran partikel yang lebih besar di atmosfer berada di sekitar 1.000 mil kawasan gurun, sehingga menyesuaikan kuantitas mereka dalam model komputer harus menghasilkan proyeksi iklim masa depan yang lebih baik di kawasan gurun, seperti Amerika Serikat barat daya dan Afrika utara.

Penelitian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah suhu masa depan di kawasan-kawasan tersebut akan lebih meningkat atau berkurang dari yang ditunjukkan model komputer saat ini.

Hasil studi juga menunjukkan bahwa ekosistem laut, yang menarik karbon dioksida dari atmosfer, mungkin secara substansial lebih banyak menerima besi daripada partikel udara dari perkiraan sebelumnya. Besi meningkatkan aktivitas biologis, bermanfaat bagi rantai makanan laut, termasuk tanaman yang mengambil karbon selama fotosintesis.

Selain mempengaruhi jumlah panas matahari di atmosfer, partikel debu juga terendapkan pada gunung salju, di mana mereka menyerap panas dan mempercepat pelelehan.

Kaca dan Debu: Pola Rekahan Biasa

Fisikawan telah lama mengetahui bahwa benda rapuh tertentu, seperti kaca atau batu, dan bahkan inti atom, retakan berada dalam pola yang bisa diprediksi. Fragmen yang dihasilkannya mengikuti berbagai ukuran tertentu, dengan distribusi potongan kecil, menengah, dan besar. Para ilmuwan merujuk jenis pola ini sebagai invarian skala atau kemiripan-diri.

Fisikawan telah menemukan rumus matematika untuk proses berdasarkan retakan yang mana yang merambat dengan cara yang bisa diprediksi saat suatu objek rapuh yang pecah. Kok berteori bahwa akan memungkinkan untuk menggunakan formula ini dalam memperkirakan rentang ukuran partikel debu. Dia kembali pada sebuah studi pada tahun 1983 oleh Guillaume d’Almeida dan Lothar Schüth dari Institut Meteorologi di Universitas Mainz, Jerman, yang mengukur distribusi ukuran partikel tanah gersang.

Dengan menerapkan rumus tersebut pada pola retakan benda-benda rapuh ke dalam pengukuran tanah, Kok menentukan distribusi ukuran partikel debu yang terpancarkan. Yang mengejutkan, rumus ini menggambarkan ukuran partikel debu yang nyaris sama persis.

“Sesungguhnya, gagasan bahwa semua benda ini retak dengan cara yang sama adalah sesuatu yang indah,” kata Kok. “Ini cara alami untuk menciptakan ketertiban dalam kekacauan.”

meteorologi : "Analisis Besar Terbaru Menjawab Skeptisme Perubahan Iklim: “Pemanasan Global adalah Nyata”


Sebuah studi baru yang dirancang untuk mengatasi kritik dari pihak yang skeptis terhadap perubahan iklim, mengkonfirmasi bahwa “pemanasan global adalah nyata”. Studi dari Berkeley Earth Surface Temperature menemukan bukti yang dapat diandalkan mengenai kenaikan suhu darat rata-rata dunia sekitar 1°C sejak pertengahan 1950-an.

Dengan menganalisis data suhu dari 15 sumber, pada beberapa kasus dari tahun 1800, penelitian Berkeley Earth secara langsung menjawab keraguan dari pihak skeptis, meliputi efek pulau panas perkotaan, kualitas stasiun yang buruk, dan risiko bias seleksi data.

Atas dasar analisis ini, menurut pendiri dan direktur ilmiah Berkeley Earth, Profesor Richard A. Muller, tim riset menyimpulkan bahwa studi sebelumnya oleh tim di Amerika Serikat dan Inggris, yang hanya mengandalkan data yang lebih terbatas, sudah secara akurat memperkirakan tingkat pemanasan permukaan darat.

“Kejutan terbesar kami adalah bahwa hasil-hasil baru ini sangat sesuai dengan nilai-nilai pemanasan yang dipublikasikan sebelumnya oleh tim lain dari AS dan Inggris,” kata Muller. “Hal ini menegaskan bahwa studi ini dilakukan secara hati-hati dan potensi bias yang diidentifikasi oleh skeptis perubahan iklim tidak berdampak serius terhadap kesimpulan mereka.”

Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh NOAA, NASA, dan Pusat Hadley, juga menemukan bahwa pemanasan darat mencapai sekitar 1°C sejak pertengahan 1950-an, serta efek pulau panas perkotaan dan kualitas stasiun yang buruk, hasilnya tidaklah bias. Namun temuan mereka dikritik pihak skeptis yang khawatir bahwa mereka bergantung pada teknik-teknik ad-hoc yang artinya temuan ini tidak bisa diduplikasi. Robert Rohde, pimpinan ilmuwan Berkeley Earth, mencatat bahwa “analisis Berkeley Earth adalah studi pertama untuk mengatasi masalah bias seleksi data, dengan menggunakan hampir semua data yang tersedia, yang mencakup lokasi-lokasi sekitar 5 kali lebih banyak dari lokasi-lokasi stasiun yang terakhir diteliti oleh tim-tim riset sebelumnya.”





Perbandingan data yang menunjukkan decadal perubahan suhu permukaan darat rata-rata dunia dari 15 sumber yang berbeda, beberapanya dari tahun 1800. (Kredit: Berkeley Earth Surface Temperature)

Tim Berkeley Earth terdiri dari para fisikawan, kosmolog, dan ahli statistik dari California, Oregon, dan Georgia. Salah satunya adalah peraih Nobel tahun ini dalam Fisika (untuk karyanya dalam kosmologi), Saul Perlmutter.

Studi Berkeley Bumi tidak berfokus pada perubahan suhu di lautan, yang menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) belum mengalami pemanasan sebanyak yang di darat

Secara khusus, studi Berkeley Earth menyimpulkan bahwa:

  • Efek pulau panas perkotaan secara lokal adalah besar dan nyata, namun tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kenaikan suhu rata-rata di darat. Itu karena area-area perkotaan di bumi berjumlah kurang dari 1% dari luas daratan.
  • Sekitar 1/3 situs temperatur di seluruh dunia dilaporkan mengalami pendinginan global selama 70 tahun terakhir (termasuk di banyak situs di Amerika Serikat dan Eropa Utara). Namun 2/3 situs menunjukkan pemanasan. Sejarah temperatur individu yang dilaporkan dari satu lokasi seringkali bias dan/atau tidak dapat diandalkan, dan selalu diperlukan pembandingan dan penggabungan berbagai catatan untuk memahami pola pemanasan global yang sebenarnya.
  • “Sejumlah besar situs yang melaporkan pendinginan mungkin merepresentasikan beberapa skeptisme pemanasan global,” komentar Rohde. “Pemanasan global terlalu lambat bagi manusia untuk bisa dirasakan secara langsung, dan jika peramal cuaca lokal memberitahu Anda bahwa suhu adalah sama atau dingin daripada suhu seratus tahun yang lalu, itu mudah untuk dipercaya.” Faktanya, sangat sulit untuk mengukur cuaca secara konsisten selama beberapa dekade dan abad, dan adanya pelaporan situs yang mengalami pendinginan merupakan gejala dari kebiasan dan variasi lokal yang bisa saja menyelinap. Penentuan yang baik terhadap peningkatan suhu darat global tidak dapat dilakukan hanya dengan beberapa stasiun saja: dibutuhkan ratusan – atau lebih baik lagi, ribuan – stasiun untuk mendeteksi dan mengukur rata-rata pemanasan.
  • Stasiun yang berperingkat “buruk” dalam survei Anthony Watts bersama timnya dalam catatan stasiun temperatur yang paling bisa diandalkan di Amerika Serikat, (dikenal sebagai USHCN – Jaringan Klimatologi Historis AS), justru menunjukkan pola-pola pemanasan global yang sama dengan stasiun berperingkat “OK”. Suhu-suhu mutlak stasiun buruk mungkin lebih tinggi dan kurang akurat, namun kecenderungan pemanasan global secara keseluruhan adalah sama, dan analisis Berkeley Earth menyimpulkan bahwa tidak ada bias yang berlebihan dari stasiun buruk dalam survei tersebut.


Empat makalah ilmiah yang menetapkan kesimpulan ini telah diajukan untuk peer review dan akan menjadi bagian dari literatur untuk pelaporan IPCC berikutnya terhadap Perubahan Iklim. Makalah-makalah ini dapat diakses di: www.BerkeleyEarth.org, disertai video animasi grafis yang menunjukkan pemanasan global di seluruh dunia sejak tahun 1800.

Berkeley Earth membuat hasil awal yang umum, bersamaan dengan program dan dataset, untuk mengundang pemeriksaan tambahan. Elizabeth Muller mengatakan bahwa “salah satu tujuan kami adalah untuk membuat sains di balik pemanasan global mudah diakses untuk umum.” Sebagian besar data sebelumnya sudah tersedia di situs publik, namun pada banyak sekali lokasi yang berbeda dan format yang berbeda, hanya sebagian kecil data yang bisa diakses kebanyakan orang. Databasedigabung, terdiri 1,6 miliar catatan, dan kini dapat diakses di situs Berkeley Earth:www.BerkeleyEarth.org.

Apa yang belum dilakukan Berkeley Earth adalah membuat penilaian independen pada seberapa banyak pemanasan yang terobservasi adalah karena ulah manusia, kata Richard Muller. Sebagai langkah berikutnya, Berkeley Earth berencana berfokus pada pemanasan total lautan, dengan maksud untuk memperoleh angka yang lebih akurat untuk jumlah total pemanasan global yang terobservasi.

geologi : Indeks Gas Rumah Kaca Terus Menanjak secara Berkelanjutan

Update terbaru Indeks Gas Rumah Kaca Tahunan (AGGI – Annual Greenhouse Gas Index) dari NOAA, yang mengukur pengaruh iklim langsung dari gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, menunjukkan tren kenaikan yang stabil sejak dimulainya Revolusi Industri pada tahun 1880-an.

Dimulai dari tahun 2004, AGGI mencapai 1,29 pada tahun 2010. Artinya, gabungan efek pemanasan dari gas rumah kaca yang ditambahkan ke atmosfer oleh aktivitas manusia telah meningkat sebanyak 29 persen sejak tahun 1990, tahun “indeks” yang digunakan sebagai dasar untuk perbandingan. Hal ini sedikit lebih tinggi daripada AGGI 2009, yang mencapai 1,27, ketika gabungan efek pemanasan dari gas-gas rumah kaca tambahan ini mencapai 27 persen lebih tinggi daripada di tahun 1990.

“Peningkatan jumlah gas rumah kaca di atmosfer kita menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan masalah masyarakat yang akan dihadapi untuk waktu yang lama,” ujar Jim Butler, direktur Divisi Pemantauan Global pada Laboratorium Riset Sistem Bumi NOAA di Boulder, Colorado. “Pemanasan iklim memiliki potensi yang mempengaruhi aspek sebagian besar masyarakat, termasuk pasokan air, pertanian, ekosistem dan ekonomi. NOAA akan terus memantau gas-gas ini ke depannya untuk lebih memahami dampaknya terhadap planet kita.”

AGGI analog dengan dial pada selimut listrik – yang saat diputar, tidak akan memberitahu kapan persisnya Anda akan mendapatkan panas, demikian pula dengan AGGI dalam memprediksi suhu tertentu. Namun sama seperti memutar dial untuk meningkatkan panas selimut listrik, kenaikan AGGI mengartikan pemanasan rumah kaca yang lebih besar.

Indeks Gas Rumah Kaca Tahunan NOAA mengukur pengaruh pemanasan iklim dari gas rumah kaca yang ditambahkan ke atmosfer oleh aktivitas manusia dan dibandingkan dengan tahun "indeks", yaitu tahun 1990. AGGI menunjukkan tren kenaikan yang stabil, mencapai 1,29 pada tahun 2010. Yang artinya, gabungan efek pemanasan dari gas rumah kaca yang ditambahkan ke atmosfer telah meningkat sebesar 29 persen sejak tahun 1990. (Kredit: NOAA)

Para ilmuwan NOAA menciptakan AGGI untuk mengenali bahwa karbon dioksida bukanlah satu-satunya gas rumah kaca yang mempengaruhi keseimbangan panas di atmosfer. Banyak gas tahan lama lainnya yang juga berkontribusi terhadap pemanasan, meskipun tidak sebanyak karbon dioksida saat ini.

AGGI juga meliputi metana dan dinitrogen oksida, gas-gas rumah kaca yang dipancarkan oleh kegiatan manusia dan juga memiliki sumber-sumber alam. Juga mencakup beberapa bahan kimiayang diketahui bisa menguras lapisan ozon pelindung bumi, yang juga aktif sebagai gas rumah kaca. AGGI 2010 merefleksikan beberapa perubahan dalam konsentrasi gas-gas ini, termasuk:

  • Sebuah peningkatan berkelanjutan karbon dioksida  yang stabil: Tingkat karbon dioksida global naik menjadi rata-rata 389 bagian per juta pada tahun 2010, dibandingkan dengan 386 ppm pada tahun 2009, dan 354 dalam tahun indeks atau perbandingan, 1990. Sebelum Revolusi Industri di tahun 1880-an, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer hanya sekitar 280 ppm. Kadar karbon dioksida mengayun naik-turun dalam siklus musiman alam, namun kegiatan manusia – terutama pembakaran batubara, minyak, dan gas untuk transportasi dan tenaga listrik – telah mendorong tren kenaikan yang konsisten dalam konsentrasinya.
  • Sebuah peningkatan metana yang berkelanjutan baru-baru ini: Tingkat metana meningkat pada tahun 2010 untuk tahun keempat secara berturut-turut setelah yang tersisa hampir konstan selama 10 tahun sebelumnya, hingga mencapai 1799 bagian per miliar. Metana yang
    terukur mencapai 1794 ppb pada tahun 2009, dan 1714 ppb pada tahun 1990. Pon demi pon, metana menjadi gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.
  • Sebuah peningkatan berkelanjutan nitrous oksida yang stabil: Dikenal sebagai gas “tertawa” dalam kedokteran gigi, nitrat oksida juga merupakan gas rumah kaca yang dipancarkan dari sumber-sumber alam dan sebagai produk sampingan dari pemupukan pertanian, kotoran ternak, pengolahan limbah dan beberapa proses industri.
  • Sebuah penurunan dua chlorofluorocarbon yang berkelanjutan baru-baru ini, yaitu CFC11 dan CFC12: Tingkat kedua senyawa ini – yang merupakan bahan kimia penghapus ozon selain sebagai gas rumah kaca – telah menurun sekitar satu persen per tahun sejak akhir 1990-an, karena suatu perjanjian internasional, Protokol Montreal, untuk melindungi lapisan ozon.
Para ilmuwan di Laboratorium Riset Sistem Bumi NOAA mempersiapkan AGGI setiap tahunnya dari data atmosfer yang dikumpulkan melalui jaringan sampling udara kerjasama internasional lebih dari 100 situs di seluruh dunia.

Para peneliti NOAA mengembangkan AGGI pada tahun 2004 dan telah begitu jauh menghitung ke belakang hingga ke tahun 1978. Data komposisi atmosfer dari inti es dan catatan lainnya dapat memungkinkan catatan akan diperpanjang selama berabad-abad.

Annual Greenhouse Gas Index (AGGI) tersedia secara onlinehttp://www.esrl.noaa.gov/gmd/aggi/

Geologi : "Lapisan Es yang Mencair Menjadi Ancaman Besar bagi Iklim"


Seiring memanasnya Kutub Utara, gas rumah kaca yang dilepaskan dari pencairan lapisan es menjadi lebih cepat dan pada tingkat signifikan yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, demikian menurut hasil survei dari 41 ilmuwan internasional yang dipublikasikan dalam jurnal Nature edisi 30 November.

Pencairan es akan merilis jumlah karbon yang sama seperti yang dilepaskan akibat penggundulan hutan, kata penulis, namun dampaknya pada iklim akan 2,5 kali lipat lebih besar karena emisinya meliputi metana, yang berdampak lebih besar terhadap pemanasan dibandingkan karbon dioksida.

Survei, yang dipimpin peneliti University of Florida, Edward Schuur, dan mahasiswa pascasarjana University of Alaska, Fairbanks Benyamin Abbott, menanyakan pada para ahli iklim tentang berapa persen permukaan lapisan es yang cenderung mencair, berapa banyak karbon yang akan dirilis dan berapa banyak karbon yang akan menjadi metana. Para penulis memperkirakan bahwa jumlah karbon yang dilepaskan pada tahun 2100 akan menjadi 1,7 hingga 5,2 kali lipat lebih besar dibandingkan yang dilaporkan dalam studi pemodelan baru-baru ini, yang menggunakan skenario pemanasan serupa.

“Perkiraannya menjadi lebih besar karena meliputi pula proses yang terlewatkan dari model saat ini serta perkiraan baru dari jumlah karbon organik yang tersimpan jauh di dalam tanah beku,” kata Abbott. “Ada karbon organik yang lebih banyak di tanah utara daripada yang ada pada semua makhluk hidup yang dikombinasikan; itu agak membingungkan pikiran.”

Tanah utara memendam sekitar 1.700 miliar gigaton karbon organik, sekitar empat kali lebih banyak dari semua karbon yang dipancarkan oleh aktivitas manusia modern dan dua kali lebih banyak dari yang ada saat ini di atmosfer, demikian menurut perkiraan terbaru. Saat lapisan es mencair, bahan organik dalam tanah terurai dan melepaskan gas seperti metana dan karbon dioksida.

“Dalam sebagian besar bahan organik ekosistem biasanya hanya terkonsentrasi di kisaran meter paling atas tanah, namun ketika tanah Kutub Utara membeku dan mencair, karbon dapat mengerjakan jalannya hingga bermeter-meter ke bawah, kata Abbott, yang mempelajari bagaimana karbon dilepaskan dari lanskap yang runtuh, atau disebut thermokarst – sebuah proses yang tidak diperhitungkan dalam model saat ini. Hingga saat ini kedalaman karbon tidak termasuk dalam inventori tanah dan masih belum diperhitungkan dalam model iklim.




Ben Abbott, mahasiswa pascasarjana, kanan, dan Jay Jones, profesor biologi, keduanya dari Institut Biologi Arktik di Universitas Alaska Fairbanks, mengumpulkan inti-inti tanah dan pengukuran aliran gas dari lanskap utara Toolik Field Station IAB di Lereng Utara di mana lapisan es telah mencair dan datarannya runtuh - disebut sebagai thermokarst. (Kredit: Marie Gilbert/IAB)


“Kami tahu tentang banyak proses yang akan mempengaruhi nasib karbon Kutub Utara, namun kami belum tahu bagaimana memasukkan proses-proses ini ke dalam model iklim,” kata Abbott. “Kami berharap untuk mengidentifikasi beberapa proses dan membantu berbagai model mengejar ketinggalannya.”

Kebanyakan model skala besar mengasumsikan bahwa pemanasan lapisan es tergantung pada seberapa banyak udara di atas lapisan es mengalami pemanasan. Yang hilang dari model adalah proses seperti efek mendadak pencairan yang dapat mencairkan irisan es, mengakibatkan daratan runtuh dan mempercepat pencairan tambahan.

“Survei ini adalah bagian dari proses ilmiah, yang kami pikir akan terjadi di masa depan, dan kami datang dengan hipotesis teruji untuk penelitian di masa depan,” kata Schurr. “Survei kami menguraikan risiko tambahan bagi masyarakat yang disebabkan oleh pencairan Utara beku serta perlunya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan penggundulan hutan.”

Dengan mengintegrasikan data dari model sebelumnya dengan prediksi para ahli, penulis berharap untuk memberikan kerangka acuan bagi para ilmuwan dalam mempelajari semua aspek dari perubahan iklim.

“Pelepasan karbon lapisan es tidak akan menutupi emisi bahan bakar fosil sebagai pendorong utama perubahan iklim” kata Schuur, “namun merupakan penguat penting terhadap perubahan iklim.”

Kredit: University of Alaska Fairbanks
Jurnal: Edward A. G. Schuur, Benjamin Abbott. Climate change: High risk of permafrost thaw.
Nature, 2011; 480 (7375): 32 DOI: 10.1038/480032a




geologi : "Masa Lalu Bumi Memberi Petunjuk Perubahan-perubahan Masa Depan"

Para ilmuwan selangkah lebih dekat untuk bisa memprediksi kapan dan di mana gempa bumi akan terjadi setelah berfokus pada pembentukan Andes, yang dimulai 45 juta tahun yang lalu.

Dipublikasikan dalam jurnal Nature, penelitian yang dipimpin oleh Dr. Fabio Capitanio dari Sekolah Ilmu Bumi Universitas Monash ini menggambarkan pendekatan baru tentang lempeng tektonik. Ini adalah model pertama untuk melampaui penggambaran bagaimana lempeng bergerak, dan menjelaskan mengapa itu terjadi.

Dr. Capitanio mengatakan bahwa meskipun teori ini telah diterapkan hanya pada satu batas lempeng sejauh ini, namun ini adalah aplikasi yang lebih luas.

Dengan memahami kekuatan gerakan lempeng tektonik akan memungkinkan para peneliti memprediksi pergeseran dan konsekuensinya, termasuk pembentukan pegunungan, pembukaan dan penutupan lautan, serta gempa bumi.

Dr. Capitanio mengatakan bahwa teori yang ada tentang lempeng tektonik telah gagal menjelaskan beberapa fitur pengembangan rantai gunung terpanjang di dunia berbasis daratan, dan memotivasi dia untuk mengambil pendekatan yang berbeda.

“Kami tahu bahwa Andes dihasilkan dari subduksi satu lempengan, di bawah yang lainnya, namun banyak hal yang tidak dapat dijelaskan. Sebagai contoh, subduksi dimulai 125 juta tahun yang lalu, tapi pegunungan hanya mulai terbentuk 45 juta tahun yang lalu. Ketertinggalan inilah yang tidak dipahami,” kata Dr. Capitanio.

“Model yang kami kembangkan menjelaskan waktu pembentukan Andes dan fitur unik seperti kelengkungan rantai gunung.”

Dr. Capitanio mengatakan bahwa pendekatan tradisional terhadap lempeng tektonik, yang bekerja pada data, menghasilkan model dengan deskriptif yang kuat, tetapi tidak ada kekuatan prediktif.

“Model yang ada memungkinkan Anda menggambarkan pergerakan lempeng seperti yang terjadi, tetapi Anda tidak bisa mengatakan kapan pergerakan itu akan berhenti, atau apakah mereka akan mempercepat, dan sebagainya.

“Saya mengembangkan model fisika tiga-dimensi – saya menggunakan fisika untuk memprediksi perilaku lempeng tektonik. Kemudian, saya menerapkan data yang melacak Andes kembali hingga ke 60 juta tahun yang lalu. Ini begitu sesuai.”

Kolaborator pada proyek ini adalah Dr. Claudio Faccenna dari Universita Roma Tre, Dr. Sergio Zlotnik dari UPC-Barcelona Tech, dan Dr. David R Stegman dari University of California San Diego. Para peneliti akan terus mengembangkan model ini dengan menerapkannya pada zona-zona subduksi lainnya.

Kredit: Universitas Monash
Jurnal: F. A. Capitanio, C. Faccenna, S. Zlotnik, D. R. Stegman. Subduction dynamics and the origin of Andean orogeny and the Bolivian oroclineNature, 23 November 2011. DOI:10.1038/nature10596